Sabtu, 29 Oktober 2011

Borneo Merdeka, Menunggu Jogja


Setiap warga negara mempunyai kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat di era reformasi ini, tanpa dihantui rasa ketakutan seperti ketika zaman orde baru. Baik pendapat itu menyangkut kepentingan kelompok masyakat maupun hanya kepentingan pribadi.

Berbeda dengan era orde baru, masyarakat boleh dikatakan tidak berdaya untuk melakukan kritik maupun mengeluarkan pendapat.

Bahkan apabila gagasan yang dilontarkan tidak berkenan di hati penguasa, bukan mustahil akan keluar tuduhan seperti melakukan tindakan subversif ataupun tindakan makar lainnya terhadap si penggagas. Kalau keluar ancaman begitu, orang tidak berani lagi mengeluarkan pendapat yang bernada berseberangan dengan penguasa secara terang-terangan.

Tapi, untuk kritikan dan pendapat pinggiran seperti di warung kopi yang bernada menghujat penguasa tetap tidak bisa dibendung. Itulah dinamika politik.

Begitu runtuhnya rezim orde baru, tidak ada lagi kekangan dalam mengeluarkan pendapat, baik yang sifatnya mengritik penguasa maupun sekadar memberikan masukan dalam kerangka kehidupan bernegara. Namun tidak sedikit pernyataan keluar tanpa kendali, sehingga tidak hanya bisa merugikan diri sendiri juga bisa berakibat bagi masyarakat luas.

Padahal, pernyataan yang dikeluarkan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Misalnya saja, sebanyak 82 tokoh di Kalimantan Tengah kini tengah menggodok pembentukan Negara Borneo Merdeka (NBM) lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendapat seperti ini, di alam demokrasi sekarang memang sah-sah saja, asalkan pernyataan itu mendapat dukung segenap komponen masyarakat, bukan hanya segelintir orang per orang atau kelompok tertentu.

Ada kesan munculnya gagasan untuk membentuk NBM karena dipengaruhi faktor sentimentil, emosional maupun adanya barisan sakit hati, karena selama ini terkesan dianaktirikan oleh pemerintah pusat.

Persoalan membentuk negara apalagi melibatkan negara lain Brunei Darussalam, bukan persoalan yang dapat selesai dalam satu atau dua tahun. Tetapi membutuhkan waktu sangat lama. Itu pun apabila gagasan tersebut didukung oleh rakyat kedua wilayah.

Apalagi kalau pendapat itu tidak mendapat dukungan, otomatis pernyataan tersebut selain mustahil diwujudkan, hanya membuang-buang energi dan menambah beban permasalahan yang saat ini sudah sangat berat dirasakan oleh masyarakat. Seperti Aceh dan Irian Jaya, meski sebagian penduduknya ingin merdeka terlepas dari NKRI, keinginan itu sangat mustahil untuk diwujudkan, sebab kedua daerah ini memang secara sah masuk dalam wilayah hukum Indonesia.

Berbeda dengan Timor Timur yang melalui proses integrasi dengan NKRI, sejak semula memang terjadi pertentangan di antara penduduk setempat. Ada baiknya, tuntutan merdeka itu bukan memisahkan diri dari NKRI, tetapi merdeka untuk melepaskan daerah dari ketertinggalan selama ini, dengan kerja keras untuk membangun daerahnya sendiri sehingga tidak memecah belah bangsa.

Ada baiknya, semua penandatangan itu justru memberikan pemikiran kepada pemerintah pusat agar kesejahteraan masyarakat di Kalimantan (red.BORNEO) menjadi lebih baik. Apalagi di era otonomi daerah, peran putra daerah sangat dibutuhkan untuk memberikan sumbangsihnya bagi kemajuan daerahnya. Sebab dalam otonomi itu, untuk memajukan daerah terletak pada kesiapan pimpinan daerah mengelola sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia demi kepentingan bersama dan kesejahteraan masyarakat.

dan ada juga sebagian masyarakat kalimantan yang menunggu hasil tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta, seandainya referendum itu terus bergulir dan jogja melepaskan diri dari NKRI maka, kemungkinan terbesar REPUBLIK BORNEO MERDEKA akan berdiri….
di tunggu saja…….!!! pak be ye hati-hati…!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar